ِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
Pendahuluan
Pendidikan merupakan jantung dari pembangunan manusia dan peradaban. Ia bukan sekadar proses transfer pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan sebuah perjalanan yang membentuk kepribadian, pola pikir, dan kesadaran sosial. Di era kontemporer yang ditandai dengan percepatan teknologi, globalisasi, dan kompleksitas persoalan sosial, pendidikan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang statis, melainkan harus senantiasa bergerak, merefleksi, dan bertransformasi. Dengan demikian, gagasan pendidikan sebagai proses reflektif dan transformatif menjadi semakin penting untuk dipahami dan diimplementasikan.
Pandangan ini senada dengan warisan para imam mazhab. Imam Abu Hanifah menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pemahaman, bukan sekadar hafalan (Al-Khatib al-Baghdadi, 2001). Imam Malik mengingatkan bahwa ilmu sejati adalah yang menumbuhkan ketakwaan dan memperbaiki akhlak (Malik bin Anas, 1994). Imam Syafi‘i menyebut ilmu sebagai cahaya yang tidak akan diberikan Allah kepada hati yang penuh maksiat (Al-Syafi‘i, 1973/1990). Imam Ahmad menegaskan bahwa manusia akan terus membutuhkan pendidikan sepanjang hidupnya, baik dalam belajar maupun mengajar (Ibn al-Jauzi, 2002).
Pendidikan sebagai Proses Reflektif
Refleksi dalam pendidikan merujuk pada upaya meninjau ulang pengalaman belajar untuk menemukan makna dan perbaikan. John Dewey (1933) menyatakan bahwa refleksi adalah bentuk berpikir aktif, gigih, dan penuh pertimbangan mengenai keyakinan atau pengetahuan yang dipegang, beserta konsekuensi dari keyakinan tersebut. Artinya, pendidikan yang reflektif mengajak peserta didik, guru, dan lembaga pendidikan untuk terus menguji relevansi pengetahuan dengan realitas kehidupan.
Dalam konteks Indonesia, Kurikulum Merdeka memberikan ruang refleksi melalui asesmen diagnostik dan diferensiasi pembelajaran. Guru tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang membantu siswa memahami gaya belajar dan minat masing-masing. Hal ini sejalan dengan praktik self-assessment yang ditekankan Dewey maupun Brookfield (2017) dalam konsep “critically reflective teacher.”
Pandangan reflektif ini juga ditekankan para imam mazhab. Abu Hanifah menegaskan pentingnya perenungan agar ilmu tidak menjadi beban tanpa makna (Al-Khatib al-Baghdadi, 2001). Malik menyebut ilmu tanpa pengamalan dan refleksi adalah tidak bermanfaat (Malik bin Anas, 1994). Syafi‘i mengingatkan pentingnya merenungkan ilmu agar tidak hilang seperti air di atas batu (Al-Syafi‘i, 1973/1990). Ahmad bin Hanbal menekankan refleksi dengan pernyataannya bahwa manusia tetap menjadi pelajar hingga akhir hayat (Ibn al-Jauzi, 2002).
Pendidikan sebagai Proses Transformatif
Jika refleksi bersifat introspektif, maka transformasi bersifat prospektif. Paulo Freire (1970) menegaskan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan dan mendorong mereka menjadi subjek perubahan. Di Indonesia, praktik pendidikan komunitas seperti sekolah alternatif Sanggar Anak Akar di Jakarta atau Sekolah Pagesangan di Yogyakarta menunjukkan bagaimana pendidikan transformatif bekerja: siswa diajak kritis membaca realitas sosial sekaligus aktif menciptakan solusi kolektif. Data UNESCO (2022) juga menunjukkan bahwa partisipasi pendidikan berbasis komunitas di negara berkembang, termasuk Indonesia, efektif meningkatkan kesadaran sosial dan kemampuan literasi pada kelompok marginal.
Para imam mazhab pun menekankan dimensi transformatif. Abu Hanifah menegaskan bahwa ilmu harus membebaskan dari kebodohan (Al-Khatib al-Baghdadi, 2001). Malik memandang ilmu sebagai sarana perbaikan umat dan masyarakat (Malik bin Anas, 1994). Syafi‘i menekankan pentingnya menyampaikan ilmu untuk mengubah kehidupan orang lain ke arah kebaikan (Al-Syafi‘i, 1973/1990). Ahmad bin Hanbal melihat ilmu sebagai jalan transformasi yang menghubungkan dunia dan akhirat (Ibn al-Jauzi, 2002).
Integrasi Reflektif dan Transformatif
Refleksi tanpa transformasi berpotensi berhenti pada kontemplasi tanpa aksi, sedangkan transformasi tanpa refleksi bisa kehilangan arah. Integrasi keduanya penting: misalnya, model project-based learning dalam Kurikulum Merdeka tidak hanya mendorong siswa menyelesaikan masalah nyata, tetapi juga merefleksikan prosesnya. Penelitian Balitbang Kemendikbudristek (2023) menunjukkan 78% guru yang menerapkan proyek profil pelajar Pancasila melihat peningkatan kemampuan kolaborasi dan empati siswa.
Hal ini sesuai dengan nasihat para imam mazhab. Abu Hanifah menekankan pentingnya menggabungkan pemahaman (refleksi) dengan amal nyata (transformasi) (Al-Khatib al-Baghdadi, 2001). Malik melihat pendidikan sejati sebagai perpaduan antara ilmu dan amal saleh (Malik bin Anas, 1994). Syafi‘i mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal adalah sia-sia, dan amal tanpa ilmu bisa tersesat (Al-Syafi‘i, 1973/1990). Ahmad bin Hanbal menekankan keseimbangan antara belajar, merenung, dan mengamalkan sebagai jalan lurus (Ibn al-Jauzi, 2002).
Relevansi di Era Kontemporer
Di era kecerdasan buatan, disrupsi digital, dan kompleksitas global, gagasan pendidikan reflektif-transformatif semakin menemukan urgensinya. Pertama, refleksi membantu individu menyadari kebutuhan belajar sepanjang hayat. Kedua, pendidikan transformatif membangun solidaritas sosial di masyarakat plural. Ketiga, menghadapi krisis global seperti perubahan iklim, pendidikan perlu menginternalisasikan kesadaran ekologis. Contoh nyata adalah inisiatif “Sekolah Adiwiyata” di Indonesia, yang menanamkan nilai keberlanjutan melalui kegiatan ekologis berbasis komunitas.
Para imam mazhab juga memberi dasar normatif. Abu Hanifah menekankan pentingnya menyesuaikan metode pendidikan dengan zaman (Al-Khatib al-Baghdadi, 2001). Malik mengingatkan agar pendidikan tidak tercerabut dari nilai dan tradisi (Malik bin Anas, 1994). Syafi‘i menegaskan bahwa metode boleh berubah, tetapi prinsip dasar ilmu tetap sama (Al-Syafi‘i, 1973/1990). Ahmad bin Hanbal menekankan fleksibilitas pendidikan selama tidak keluar dari syariat (Ibn al-Jawzi, 2002).
Penutup
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa bergerak, merefleksi, dan mentransformasi. Dengan integrasi reflektif dan transformatif, pendidikan dapat membentuk manusia kritis, kreatif, serta peduli sosial. Praktik nyata di Indonesia, baik melalui Kurikulum Merdeka maupun pendidikan komunitas, menunjukkan bahwa gagasan ini bukan utopia (tanpa masalah), melainkan sedang dan harus terus diperjuangkan. Sebagaimana ditekankan para imam mazhab, ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk diamalkan, direfleksikan, dan mentransformasi kehidupan menuju kebaikan individu dan masyarakat.
