Pendidikan Nasional Tanpa Akar: Hilangnya Peran Keluarga

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Pendahuluan

Pendidikan nasional Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan generasi yang cerdas sekaligus berkarakter. Sekolah sering kali dituding gagal mencapai tujuan luhur pendidikan, padahal akar permasalahan justru banyak bermula dari keluarga sebagai basis pendidikan pertama dan utama (Hidayat, 2021). Fenomena ini menunjukkan bahwa peran keluarga dalam pendidikan belum sepenuhnya optimal.

Dalam konteks ini, terdapat tujuh aspek penting yang kerap terabaikan dalam pendidikan keluarga, yakni keteladanan, penanaman nilai, kehadiran orang tua, keterampilan hidup, budaya literasi dan diskusi, kebiasaan spiritual serta sosial, dan sinergi dengan sekolah. Hilangnya fondasi-fondasi tersebut menjadikan pendidikan formal berjalan dalam ruang hampa sehingga sulit mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021).

Untuk memperkaya analisis, tulisan ini meninjau praktik pendidikan keluarga pada tiga generasi awal Islam—yakni masa Rasulullah ﷺ, Khulafaur Rasyidin, dan Tabi’in—yang terbukti melahirkan generasi terbaik sepanjang sejarah (Rahman, 2020). Dari telaah tersebut, diharapkan muncul kesadaran bahwa revitalisasi pendidikan keluarga merupakan prasyarat mutlak bagi lahirnya generasi yang beriman, berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab.

Hilangnya Fondasi Pendidikan dalam Keluarga dan Pelajaran dari 3 Generasi Awal Islam
  •  Keteladanan (Role Model) yang Pudar

Pada masa Rasulullah ﷺ, pendidikan berbasis teladan menjadi inti pembinaan keluarga. Nabi ﷺ tidak sekedar mengajarkan tauhid dan akhlak, tetapi juga mempraktikkannya dalam keseharian di rumah (Aziz, 2019). Khulafaur Rasyidin pun meneruskan teladan ini: Abu Bakar menanamkan kejujuran, Umar mendidik anak-anaknya dengan kedisiplinan, Utsman dengan kedermawanan, dan Ali dengan keberanian serta ilmu. Generasi Tabi’in tumbuh dengan menyerap keteladanan para sahabat. Ketika teladan ini memudar di keluarga modern, anak kehilangan figur panutan (Fatimah, 2022).

  • Penanaman Nilai (Character Building) yang Terabaikan

Generasi awal Islam menempatkan nilai sebagai prioritas keluarga. Rasulullah ﷺ mendidik Fatimah, Hasan, dan Husain dengan menekankan akhlak mulia, bukan sekadar kecerdasan (Rahman, 2020). Sahabat juga membiasakan anak-anak mereka menjaga shalat, amanah, dan keadilan sejak kecil. Bandingkan dengan banyak keluarga kini yang lebih menekankan capaian akademik ketimbang pembentukan karakter (Syahrul, 2021).

  • Minimnya Kehadiran Orang Tua

Di masa sahabat, keluarga selalu menjadi ruang utama pembinaan. Umar bin Khattab bahkan menulis surat khusus berisi nasihat akhlak kepada anaknya. Para Tabi’in, seperti Hasan al-Bashri, tumbuh karena intensnya pendampingan orang tua dan guru di rumah (Aziz, 2019). Kehadiran orang tua kini justru tergantikan oleh gawai dan televisi (Lestari, 2020).

  • Keterampilan Hidup (Life Skills) yang Terlupakan

Anak-anak sahabat dibekali life skills sejak dini: keberanian, kemandirian, kemampuan berdialog, bahkan seni berdagang. Zubair bin Awwam, misalnya, dilatih keberanian oleh ibunya Asma’ binti Abu Bakar. Generasi kini sering kehilangan pembekalan ini, sehingga mudah rapuh menghadapi tekanan (Nasution, 2022).

  • Budaya Literasi dan Diskusi yang Lemah

Tradisi literasi Islam dimulai dari wahyu pertama Iqra’ (bacalah). Rumah-rumah sahabat menjadi pusat belajar dan diskusi. Abdullah bin Abbas, sejak kecil, terbiasa berdialog dengan para sahabat senior. Hal ini melahirkan generasi kritis dan berilmu (Rahman, 2020). Di Indonesia modern, tradisi dialog di rumah justru melemah karena pola komunikasi otoriter atau minim interaksi (Setiawan, 2021).

  • Kebiasaan Spiritual dan Sosial yang Tidak Konsisten

Keluarga Muslim awal menumbuhkan kebiasaan ibadah berjamaah, puasa, dan empati sosial. Rasulullah ﷺ membiasakan Hasan dan Husain ikut shalat sejak kecil. Nilai sosial juga ditanamkan, misalnya Ali yang mendidik anaknya Hasan dan Husain untuk menolong fakir miskin (Aziz, 2019). Saat kebiasaan spiritual dan sosial tidak konsisten, anak kehilangan fondasi moral (Hidayat, 2021).

  • Putusnya Sinergi dengan Sekolah

Pada masa awal Islam, pendidikan rumah dan masyarakat berjalan selaras. Keluarga menanamkan nilai, sementara masjid menjadi pusat penguatan. Sinergi ini melahirkan generasi kokoh iman dan ilmu (Rahman, 2020). Kini, ketika keluarga menyerahkan segalanya kepada sekolah, pendidikan menjadi timpang dan tidak berdaya menghadapi arus nilai global (Lestari, 2020).

Implikasi terhadap Tujuan Pendidikan Nasional

Sejarah tiga generasi awal Islam menunjukkan bahwa keluarga adalah inti pendidikan. Keteladanan, penanaman nilai, literasi, keterampilan hidup, serta pembiasaan ibadah dan sosial dalam keluarga melahirkan generasi yang tangguh, berilmu, dan berakhlak. Pendidikan seperti Inilah yang sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional Indonesia: membentuk manusia seutuhnya — beriman, berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021). Tanpa fondasi keluarga, sekolah hanya akan mengulang kegagalan yang sama (Syahrul, 2021).

Kesimpulan

Krisis pendidikan di Indonesia tidak semata disebabkan oleh kurikulum sekolah atau sistem pembelajaran, melainkan berakar pada hilangnya ruh pendidikan keluarga. Revitalisasi pendidikan keluarga menjadi kebutuhan mendesak. Orang tua harus kembali menghadirkan keteladanan, penanaman nilai, pendampingan emosional, pembiasaan spiritual, serta keterampilan hidup.

Sejarah tiga generasi awal Islam menunjukkan bukti nyata bahwa keberhasilan pendidikan berawal dari rumah. Rasulullah ﷺ membangun generasi sahabat melalui keteladanan dan pembiasaan nilai di lingkungan keluarga. Khulafaur Rasyidin mencontohkan konsistensi mendidik anak dengan integritas dan kepemimpinan. Generasi Tabi’in tumbuh menjadi ulama, pemikir, dan pejuang karena dukungan kuat dari keluarga dan masyarakat. Model pendidikan keluarga pada tiga generasi awal Islam ini relevan dijadikan teladan bagi bangsa Indonesia dalam merevitalisasi pendidikan keluarga.

Dengan menjadikan rumah sebagai madrasah utama, orang tua sebagai pendidik pertama, dan sekolah sebagai mitra yang bersinergi, cita-cita pendidikan nasional untuk melahirkan generasi beriman, berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab bukan sekadar retorika, melainkan dapat menjadi kenyataan.

وَصَلَّى ٱللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَامُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Menjadi lembaga Islam unggul dalam pendidikan, sosial, dan dakwah untuk membangun SDM berkarakter Ahlussunnah wal Jamaah, bermoral, cerdas, berdaya saing, berpikiran global, dan adaptif terhadap perkembangan zaman

Kontak

2025. Yayasan Pesantren Muassasah Al-Hayaa. All rights reserved.