Lembaga Pendidikan yang Sehat: Berproses Menuju yang Lebih Baik

ِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Pendahuluan

Pendidikan merupakan jantung pembangunan manusia dan peradaban. Banyak lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, berlomba-lomba mengklaim dirinya sebagai yang “terbaik” berdasarkan peringkat akreditasi, pencapaian prestasi siswa, atau popularitas di masyarakat. Namun, klaim semacam itu sering kali berisiko menimbulkan stagnasi karena menutup ruang kritik, evaluasi, dan inovasi.

Dewey (1938) menegaskan bahwa pendidikan adalah pertumbuhan berkesinambungan yang tidak pernah final. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang sehat adalah lembaga yang tidak berhenti pada pencapaian sementara, melainkan terus bergerak melalui refleksi dan transformasi. Hal ini sejalan dengan perkataan Umar bin Khattab raḍiyallāhu ‘anhu: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah amal kalian sebelum ditimbang” (Tirmidzī, n.d.). Prinsip evaluasi dan muhasabah yang diwariskan generasi salaf ini menegaskan bahwa setiap pencapaian hanyalah pijakan untuk perbaikan berikutnya.

Pendidikan sebagai Proses Dinamis

Filosofi pendidikan modern menempatkan pendidikan sebagai proses hidup yang tidak pernah berhenti. Menurut Dewey (1938), setiap pengalaman pendidikan merupakan landasan untuk pengalaman berikutnya. Ini berarti bahwa sekolah yang hari ini berhasil melahirkan siswa berprestasi, esok hari tetap harus mengevaluasi kurikulumnya, metode pengajaran, serta budaya belajar agar tidak terjebak dalam nostalgia prestasi masa lalu.

Ibn Mas‘ud raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Seorang mukmin tidak pernah merasa kenyang dari ilmu sampai dia masuk surga” (al-Dārimī, n.d.). Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang sehat tidak mengenal titik akhir, tetapi merupakan proses yang terus berjalan sepanjang hayat.

Budaya Perbaikan Berkelanjutan

Deming (1986), melalui siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA), menegaskan pentingnya budaya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Dalam praktiknya, budaya ini menuntut lembaga pendidikan untuk rutin melakukan evaluasi berbasis data.

Hal ini senada dengan prinsip Imam al-Shafi‘i raḥimahullāh: “Barangsiapa yang menganggap dirinya sudah cukup berilmu, maka kebodohannya telah nyata” (al-Baihaqī, n.d.). Maka, lembaga pendidikan yang sehat adalah yang senantiasa membuka ruang perbaikan tanpa merasa paling benar atau paling baik.

Lembaga Pendidikan sebagai Learning Organization

Senge (1990) mengajukan konsep learning organization, yaitu organisasi yang bertahan karena menjadikan pembelajaran sebagai inti. Dalam konteks pendidikan, bukan hanya siswa yang belajar, melainkan juga guru, tenaga kependidikan, dan manajemen sekolah.

Generasi salaf telah mencontohkan semangat belajar kolektif ini. Imam Mālik raḥimahullāh berkata: “Tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki awalnya” (al-Suyūṭī, n.d.). Beliau menegaskan bahwa setiap generasi harus belajar dari generasi sebelumnya, bukan hanya dari sisi ilmu, tetapi juga adab dan cara bermusyawarah.

Dimensi Etis dan Humanis

Freire (1970) menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses pembebasan, bukan sekadar transfer ilmu. Lembaga pendidikan yang sehat tidak hanya mengejar pencapaian akademik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kritis, nilai kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial.

Inilah yang diwariskan oleh Abdullah bin Mubarak raḥimahullāh: “Kami lebih membutuhkan sedikit adab dibandingkan banyak ilmu” (Ibn al-Mubārak, n.d.). Artinya, pendidikan yang sehat selalu menyeimbangkan kecerdasan kognitif dengan karakter dan akhlak mulia.

Relevansi dalam Konteks Global dan Lokal

UNESCO (2015) menekankan pentingnya pendidikan abad ke-21 yang menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan literasi digital. Namun, penerapan inovasi global harus tetap disesuaikan dengan kebutuhan lokal.

Generasi salaf juga telah memberi contoh relevansi lokal. Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda dari zamanmu” (al-Baihaqī, n.d.). Prinsip ini menunjukkan bahwa inovasi harus tetap selaras dengan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat.

Kesimpulan

Lembaga pendidikan yang sehat bukanlah lembaga yang terjebak dalam klaim “kami yang terbaik,” melainkan lembaga yang terus berproses menuju kualitas yang lebih baik. Karakteristiknya meliputi keterbukaan terhadap perubahan, komitmen terhadap evaluasi berkelanjutan, budaya belajar organisasi, orientasi etis-humanistik, serta kemampuan menyeimbangkan tuntutan global dan lokal Hal ini sejalan dengan perkataan al-Hasan al-Bashri raḥimahullāh: “Orang beriman itu terus-menerus melakukan muhasabah terhadap dirinya. Ia mengetahui bahwa setiap langkahnya akan ditanya oleh Allah” (Abū Nu‘aim, n.d.).

Dengan demikian, kesehatan lembaga pendidikan tidak terletak pada citra atau klaim prestasi, tetapi pada proses reflektif dan transformatif yang terus diperbarui. Hanya dengan sikap rendah hati dan kesadaran untuk selalu belajar, lembaga pendidikan dapat menjaga relevansi, keberlanjutan, dan kontribusinya bagi kemanusiaan (Insan Kamil).

Menjadi lembaga Islam unggul dalam pendidikan, sosial, dan dakwah untuk membangun SDM berkarakter Ahlussunnah wal Jamaah, bermoral, cerdas, berdaya saing, berpikiran global, dan adaptif terhadap perkembangan zaman

Kontak

2025. Yayasan Pesantren Muassasah Al-Hayaa. All rights reserved.